Waktu Terkabulnya Doa
Waktu Terkabulnya Doa
Ada 6 waktu terkabulnya do’a yang bisa kita amalkan. Jika
mendapati 6 kesempatan ini, jangan sampai disia-siakan untuk berdo’a.
Pertama:
Waktu sahur, waktu menjelang shubuh karena ketika itu Allah turun ke langit
dunia untuk mengabulkan do’a.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
يَنْزِلُ
رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ
يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ
مَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun ke langit dunia
ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lantas Allah berfirman, “Siapa saja
yang berdo’a kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku,
maka Aku beri. Siapa yang meminta ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.”
(HR. Bukhari, no. 1145 dan Muslim, no. 758).
Ibnu Hajar menjelaskan hadits di atas dengan berkata, “Do’a
dan istighfar di waktu sahur mudah dikabulkan.” (Fath Al-Bari, 3: 32).
Imam Nawawi berkata, “Pada waktu itu adalah waktu
tersebarnya rahmat, banyak permintaan yang diberi dan dikabulkan, dan juga
nikmat semakin sempurna kala itu.” (Syarh Shahih Muslim, 6: 36).
Kedua:
Waktu di hari Jum’at, bisa jadi saat duduk imam di antara dua khutbah, bisa
jadi pula ba’da Ashar sampai tenggelam matahari.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari Jum’at, lantas beliau bersabda,
«
فِيهِ سَاعَةٌ لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ ، وَهْوَ قَائِمٌ يُصَلِّى ،
يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا إِلاَّ أَعْطَاهُ إِيَّاهُ » . وَأَشَارَ
بِيَدِهِ يُقَلِّلُهَا
“Di hari Jum’at terdapat suatu waktu yang tidaklah
seorang hamba muslim yang ia berdiri melaksanakan shalat lantas ia memanjatkan
suatu do’a pada Allah bertepatan dengan waktu tersebut melainkan Allah akan
memberi apa yang ia minta.” Dan beliau berisyarat dengan tangannya akan
sebentarnya waktu tersebut. (HR. Bukhari, no. 935; Muslim, no. 852)
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan,
أَنَّ كُلّ
رِوَايَة جَاءَ فِيهَا تَعْيِين وَقْت السَّاعَة الْمَذْكُورَة مَرْفُوعًا وَهْم ،
وَاَللَّه أَعْلَم .
“Setiap riwayat yang menyebutkan penentuan waktu mustajab di
hari Jum’at secara marfu’ (sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
memiliki wahm (kekeliruan). Wallahu a’lam.” (Fath Al-Bari, 11:
199)
Intinya ada beda pendapat hingga 40 pendapat dalam masalah
ini mengenai penentuan kapankah waktu terkabulnya do’a di hari Jum’at. Namun
pendapat yang paling dekat dengan dalil ada dua pendapat:
1-
Antara duduknya imam di mimbar hingga selesai shalat.
Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al Asy’ari radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, “ ’Abdullah bin ‘Umar bertanya padaku, ‘Apakah
engkau pernah mendengar ayahmu menyebut suatu hadits dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai waktu mustajabnya do’a di hari Jum’at?” Abu
Burdah menjawab, “Iya betul, aku pernah mendengar dari ayahku (Abu Musa), ia
berkata bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هِىَ مَا
بَيْنَ أَنْ يَجْلِسَ الإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ
“Waktu tersebut adalah antara imam duduk ketika khutbah
hingga imam menunaikan shalat Jum’at.” (HR. Muslim, no. 853)
2-
Ba’da ‘Ashar sampai tenggelamnya matahari.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
يَوْمُ
الْجُمُعَةِ ثِنْتَا عَشْرَةَ يُرِيدُ سَاعَةً لاَ يُوجَدُ مُسْلِمٌ يَسْأَلُ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا إِلاَّ آتَاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
فَالْتَمِسُوهَا آخِرَ سَاعَةٍ بَعْدَ الْعَصْرِ
“(Waktu siang) di hari Jum’at ada 12 (jam). Jika seorang
muslim memohon pada Allah ‘azza wa jalla sesuatu (di suatu waktu di hari
Jum’at) pasti Allah ‘azza wa jalla akan mengabulkannya. Carilah waktu tersebut
yaitu di waktu-waktu akhir setelah ‘Ashar.” (HR. Abu Daud, no. 1048; An-Nasa’i,
no. 1390. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Ketiga:
Bulan Ramadhan yang penuh berkah.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu
memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar
mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-Baqarah: 186)
Perihal Ramadhan adalah bulan do’a dikuatkan lagi dengan
hadits dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِلّهِ
فِى كُلِّ يَوْمٍ عِتْقَاءَ مِنَ النَّارِ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ ,وَإِنَّ لِكُلِّ
مُسْلِمٍ دَعْوَةً يَدْعُوْ بِهَا فَيَسْتَجِيْبُ لَهُ
“Sesungguhnya Allah membebaskan beberapa orang dari api
neraka pada setiap hari di bulan Ramadhan, dan setiap muslim apabila dia
memanjatkan do’a, akan dikabulkan.” (HR. Al-Bazaar. Al-Haitsami dalam Majma’
Az-Zawaid, 10: 14 mengatakan bahwa perowinya tsiqoh -terpercaya-.
Lihat Jami’ Al-Ahadits, 9: 224)
Dalil lain lagi menunjukkan bahwa do’a orang yang
berpuasa sampai ia berbuka puasa adalah do’a yang mustajab.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ لاَ
تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ وَالإِمَامُ الْعَادِلُ
وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga orang yang do’anya tidak tertolak: orang yang
berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan do’a orang yang dizalimi.”
(HR. Ahmad, 2: 305. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih
dengan berbagai jalan dan penguatnya)
Juga dalam hadits lain dibicarakan bahwa yang terkabul lagi
adalah do’a saat berbuka puasa,
ثَلاَثَةٌ لاَ
تُرَدُّ دَعْوَتُهُمُ الإِمَامُ الْعَادِلُ وَالصَّائِمُ حِينَ يُفْطِرُ
وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Ada tiga orang yang do’anya tidak ditolak : (1) Pemimpin
yang adil, (2) Orang yang berpuasa ketika dia berbuka, (3) Do’a orang yang
terzalimi.” (HR. Tirmidzi no. 2526, 3598 dan Ibnu Majah no. 1752. Al-Hafizh
Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dalam Tuhfah Al-Ahwadzi, 7: 278 disebutkan bahwa kenapa do’a
mudah dikabulkan ketika berbuka puasa yaitu karena saat itu, orang yang
berpuasa telah menyelesaikan ibadahnya dalam keadaan tunduk dan merendahkan
diri.
Keempat:
Pada hari Arafah (9 Dzulhijjah), karena sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari
Arafah.
Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ
الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arafah.” (HR.
Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan (Lihat
Tuhfatul Ahwadzi, 10: 33).
Apakah keutamaan do’a ini hanya khusus bagi yang wukuf di
Arafah? Apakah berlaku juga keutamaan ini bagi orang yang tidak menunaikan
ibadah haji?
Yang tepat, mustajabnya do’a tersebut adalah umum, baik bagi
yang berhaji maupun yang tidak berhaji karena keutamaan yang ada adalah
keutamaan pada hari. Sedangkan yang berada di Arafah (yang sedang wukuf pada tanggal
9 Dzulhijjah), ia berarti menggabungkan antara keutamaan waktu dan tempat.
Demikian kata Syaikh Sholih Al Munajjid dalam fatawanya no. 70282.
Para salaf dahulu saling memperingatkan pada hari Arafah
untuk sibuk dengan ibadah dan memperbanyak do’a serta tidak banyak bergaul
dengan manusia. ‘Atho’ bin Abi Robbah mengatakan pada ‘Umar bin Al Warod,
“Jika engkau mampu mengasingkan diri di siang hari Arafah, maka lakukanlah.” (Ahwal
As-Salaf fi Al- Hajj, hal. 44)
Kelima:
Do’a antara adzan dan iqamah.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
الدُّعَاءَ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ فَادْعُوا
“Sesungguhnya do’a yang tidak tertolak adalah do’a antara
adzan dan iqomah, maka berdo’alah (kala itu).” (HR. Ahmad, 3: 155. Syaikh
Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Keenam:
Do’a selesai shalat lima waktu, bisa jadi setelah salam (ba’da dzikir), bisa
jadi di akhir tahiyat sebelum salam.
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا
فَرَغْتَ فَانْصَبْ (7) وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ (8)
“Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada
Rabbmulah hendaknya kamu berharap.” (QS. Alam Nasyrah: 1-8)
‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu
‘Abbas, ia berkata,
{
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ } يعني: فِي الدُّعَاءِ
“Jika engkau telah selesai (dari shalat atau ibadah, pen.),
maka berdo’alah.” Ini jadi dalil sebagian ulama dibolehkan berdoa setelah
shalat fardhu. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7: 599)
Dalil yang menunjukkan boleh berdo’a di akhir shalat setelah
salam adalah hadits berikut,
جاء رجلٌ إلى
النَّبيِّ – صلى الله عليه وسلم – ، فقال : أيُّ الصلاة أفضل ؟ قال : (( جوفُ
الليل الأوسط )) ، قال : أيُّ الدُّعاء أسمع ؟ قال: (( دُبر المكتوبات ))
“Ada seseorang yang pernah mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu bertanya, “Shalat apa yang paling afdhal?” “Shalat
di tengah malam”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu ditanya
kembali, “Doa apa yang paling didengar?” “Doa di dubur shalat wajib (yaitu di
akhir shalat wajib, pen.).” (HR. Ibnu Abi Ad-Dunya, Jami’ ‘Ulum wa Al-Hikam,
1: 143-144)
Doa berikut dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam di dubur shalat,
اللَّهُمَّ
إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْجُبْنِ ، وَأَعُوذُ بِكَ أَنْ أُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ
الْعُمُرِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ
عَذَابِ الْقَبْرِ
“Allahumma inni a’udzu bika minal jubni, wa a’udzu bika
an arudda ila ardzalil ‘umuri, wa a’udzu bika min fitnatit dunyaa wa a’udzu
bika min ‘adzabil qabri [artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu
dari sikap pengecut di medan perang, dari jeleknya keadaan di masa tua, dari
godaan dunia yang menggiurkan dan dari siksa kubur].” (HR. Bukhari, no.
2822)
Makna dubur shalat di sini ada beda pendapat di kalangan
para ulama. Ada yang mengartikan di akhir shalat sebelum salam. Dan ada pula
yang mengartikan setelah shalat.
Dalam hadits berikut disebutkan bahwa dianjurkan berdo’a
setelah tasyahud sebelum salam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا
تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ
جَهَنَّمَ وَعَذَابِ الْقَبْرِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ
الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ثُمَّ يَدْعُو لِنَفْسِهِ بِمَا بَدَا لَهُ
“Jika salah seorang di antara kalian bertasyahud, maka
mintalah perlindungan pada Allah dari empat perkara yaitu dari siksa Jahannam,
dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati dan dari kejelekan Al Masih Ad
Dajjal, kemudian hendaklah ia berdoa untuk dirinya sendiri dengan doa apa saja
yang ia inginkan.” (HR. An-Nasa’i no. 1310. Syaikh Al-Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih).
Dengan catatan untuk do’a akhir shalat sebelum salam (karena
masih di dalam shalat), hendaklah dengan bahasa Arab atau yang lebih baik
adalah dengan doa yang berasal dari Al-Qur’an dan hadits. Doa yang berasal dari
Al-Qur’an dan hadits begitu banyak yang bisa diamalkan.
Alasan berdoanya dengan bahasa Arab dikatakan oleh salah
seorang ulama Syafi’iyah, Muhammad bin Al Khotib Asy-Syarbini rahimahullah,
فَإِنَّ
الْخِلَافَ الْمَذْكُورَ مَحَلُّهُ فِي الْمَأْثُورِ .أَمَّا غَيْرُ الْمَأْثُورِ
بِأَنْ اخْتَرَعَ دُعَاءً أَوْ ذِكْرًا بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا
يَجُوزُ كَمَا نَقَلَهُ الرَّافِعِيُّ عَنْ الْإِمَامِ تَصْرِيحًا فِي الْأُولَى ،
وَاقْتَصَرَ عَلَيْهَا فِي الرَّوْضَةِ وَإِشْعَارًا فِي الثَّانِيَةِ ،
وَتَبْطُلُ بِهِ صَلَاتُهُ .
“Perbedaan pendapat yang terjadi adalah pada doa ma’tsur.
Adapun doa yang tidak ma’tsur (tidak berasal dalil dari Al Quran dan As
Sunnah), maka tidak boleh doa atau dzikir tersebut dibuat-buat dengan selain
bahasa Arab lalu dibaca di dalam shalat. Seperti itu tidak dibolehkan
sebagaimana dinukilkan oleh Ar Rofi’i dari Imam Syafi’i sebagai penegasan dari
yang pertama. Sedangkan dalam kitab Ar Roudhoh diringkas untuk yang kedua. Juga
membaca doa seperti itu dengan selain bahasa Arab mengakibatkan shalatnya
batal.” (Mughni Al-Muhtaj, 1: 273).
Komentar
Posting Komentar