Hati Jadi Hidup dengan Ilmu dan Al-Qur’an
Hidupnya hati adalah dengan ilmu (thalabul ilmi), membaca dan mendengarkan Al-Qur’an.
Hidupnya hati adalah dengan ilmu dan
Al-Qur’an.
Pertama: Hidupnya hati adalah dengan ilmu.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata,
وَأَمَّا فَقْدُ العِلْمِ فَفِيْهِ
فَقْدُ حَيَاةِ القَلْبِ وَالرُّوْحِ فَلاَ غِنَاءً لِلْعَبْدِ عَنْهُ طَرْفَةَ
عَيْن
“Adapun luput dari ilmu akan membuat
hilangnya kehidupan hati dan ruh. Setiap hamba pasti akan membutuhkan ilmu, tak
bisa ia lepas darinya walau sekejap mata.” (Miftah Daar As-Sa’adah,
1:305)
Dalam hadits juga disebutkan bahwa
hati itu tenang dengan kita berada dalam majelis ilmu.
Dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِى بَيْتٍ
مِنْ بُيُوتِ اللَّهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ
إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ
وَحَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di
salah satu rumah Allah membaca Kitabullah dan saling mengajarkan satu dan
lainnya melainkan akan turun kepada mereka sakinah (ketenangan), akan dinaungi
rahmat, akan dikeliling para malaikat dan Allah akan menyebut-nyebut mereka di
sisi makhluk yang dimuliakan di sisi-Nya.” (HR. Muslim, no. 2699)
Kedua: Hati itu tenang dengan mendengarkan dan membaca Al-Qur’an.
Coba perhatikan, bagaimana
sekelompok jin mendapatkan hidayah dan ketenangan lantaran mendengarkan bacaan
Al-Qu’an.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا
مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآَنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا
فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ (29) قَالُوا يَا
قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقًا
لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ
(30)
“Dan (ingatlah) ketika Kami
hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur’an, maka tatkala
mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: ‘Diamlah kamu (untuk
mendengarkannya)’. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya
(untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: ‘Hai kaum kami, sesungguhnya kami
telah mendengarkan kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang
membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan
kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Ahqaf: 29-30)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini,
beliau rahimahullah berkata, “Mereka mendengarkan Al-Qur’an (benar-benar
fokus mendengarkannya). Itulah adab dari mereka para jin.” (Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim, 6:644)
Disebutan oleh Al-Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
« تِلْكَ السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ
بِالْقُرْآنِ »
“Ketenangan itu datang karena
Al-Qur’an.” (HR. Bukhari, no. 4839 dan Muslim, no. 795)
Imam Nawawi rahimahullah
menyatakan, “Itulah yang menunjukkan keutamaan membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an
itulah sebab turunnya rahmat dan hadirnya malaikat. Hadits itu juga mengandung
pelajaran tentang keutamaan mendengar Al-Qur’an.” (Syarh Shahih Muslim,
6:74)
Kalau ada yang menyatakan bahwa
ketenangan itu datang dengan musik, sungguh ia keliru. Karena ketengan itu
bukan dengan mendengar suatu yang bermasalah.
Al-Bakriy Ad-Dimyathi berkata dalam I’anatuth
Tholibin (2:280),
بخلاف الصوت الحاصل من آلات اللهو
والطرب المحرمة – كالوتر – فهو حرام يجب كف النفس من سماعه.
“Berbeda halnya dengan suara yang
dihasilkan dari alat musik dan alat pukul yang haram seperti ‘watr’, nyanyian
seperti itu haram. Wajib menahan diri untuk tidak mendengarnya.”
Mendengarnya pun bermasalah
sebagaimana dampak jeleknya disebutkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah
berikut ini,
سألت الطباع ما الذي خنّثها وذكورة
الرجال ما الذي أنّثها لقالت: سل السماع- الغناء- فإنه رقية الزنا وحاديه ..
والداعي إلي ذلك ومناديه
“Jika engkau bertanya, kenapa sampai
ada yang bisa lemah gemulai (layaknya wanita), dan kenapa kejantanan seorang
pria bisa berubah menjadi kewanita-wanitaan (lemah lembut), maka tanyakanlah
pada musik (nyanyian). Nyayian itu mantera-manteranya zina, yang mengantar,
yang mendorong, dan mengajak pada zina.” (Al-Kalam ‘ala Mas-alah As-Simaa’,
hlm. 18-19)
Kesimpulannya, marilah kita raih
ketenangan dan hidayah dengan menggali ilmu agama (mencari ilmu) dan
mendengarkan Al-Qur’an. Semoga Allah beri hidayah kepada kita semua agar cinta
ilmu dan cinta Al-Qur’an.
Keutamaan Luar Biasa Shohibul Qur’an
Berikut adalah beberapa keutamaan
bagi orang yang mengkaji, memahami, merenungkan dan menghafalkan Al Qur’an.
[1] Mendapat Syafa’at di Hari Kiamat
Dari Abu Umamah Al Bahiliy, (beliau
berkata), “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ
يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ
الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ
كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا
اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ
وَلاَ تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ
“Bacalah Al Qur’an karena Al
Qur’an akan datang pada hari kiamat nanti sebagai syafi’ (pemberi syafa’at)
bagi yang membacanya. Bacalah Az Zahrowain (dua surat cahaya) yaitu surat
Al Baqarah dan Ali Imran karena keduanya datang pada hari kiamat nanti seperti
dua awan atau seperti dua cahaya sinar matahari atau seperti dua ekor burung
yang membentangkan sayapnya (bersambung satu dengan yang lainnya), keduanya
akan menjadi pembela bagi yang rajin membaca dua surat tersebut. Bacalah pula
surat Al Baqarah. Mengambil surat tersebut adalah suatu keberkahan dan
meninggalkannya akan mendapat penyesalan. Para tukang sihir tidak mungkin
menghafalnya.” (HR. Muslim no. 1910. Lihat penjelasan hadits ini secara
lengkap di At Taisir bi Syarhi Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, 1/388, Asy
Syamilah)
[2] Permisalan Orang yang Membaca Al Qur’an dan Mengamalkannya
Dari Abu Musa Al Asy’ariy, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْمُؤْمِنُ الَّذِى يَقْرَأُ
الْقُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ كَالأُتْرُجَّةِ ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَرِيحُهَا
طَيِّبٌ ، وَالْمُؤْمِنُ الَّذِى لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَعْمَلُ بِهِ
كَالتَّمْرَةِ ، طَعْمُهَا طَيِّبٌ وَلاَ رِيحَ لَهَا ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ
الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالرَّيْحَانَةِ ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا
مُرٌّ ، وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِى لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ كَالْحَنْظَلَةِ ،
طَعْمُهَا مُرٌّ – أَوْ خَبِيثٌ – وَرِيحُهَا مُرٌّ
“Permisalan orang yang membaca Al
Qur’an dan mengamalkannya adalah bagaikan buah utrujah, rasa dan baunya
enak. Orang mukmin yang tidak membaca Al Qur’an dan mengamalkannya adalah
bagaikan buah kurma, rasanya enak namun tidak beraroma. Orang munafik yang
membaca Al Qur’an adalah bagaikan royhanah, baunya menyenangkan namun
rasanya pahit. Dan orang munafik yang tidak membaca Al Qur’an bagaikan hanzholah,
rasa dan baunya pahit dan tidak enak.” (HR. Bukhari no. 5059)
[3] Keutamaan Memiliki Hafalan Al Qur’an
Dari Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ
وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ
عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا
“Dikatakan kepada orang yang
membaca (menghafalkan) Al Qur’an nanti : ‘Bacalah dan naiklah serta tartillah
sebagaimana engkau di dunia mentartilnya. Karena kedudukanmu adalah pada akhir
ayat yang engkau baca (hafal).” (HR. Abu Daud no. 1464 dan Tirmidzi no.
2914. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 2240 mengatakan bahwa
hadits ini shohih)
Yang dimaksudkan dengan ‘membaca’
dalam hadits ini adalah menghafalkan Al Qur’an.
Perhatikanlah perkataan Syaikh Al
Albani berikut dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 2440. “Ketahuilah bahwa
yang dimaksudkan dengan shohibul qur’an (orang yang membaca Al Qur’an) di sini
adalah orang yang menghafalkannya dari hati sanubari. Sebagaimana hal ini
ditafsirkan berdasarkan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain,
‘Suatu kaum akan dipimpin oleh orang yang paling menghafal Kitabullah (Al
Qur’an).’ Kedudukan yang bertingkat-tingkat di surga nanti tergantung dari
banyaknya hafalan seseorang di dunia dan bukan tergantung pada banyak bacaannya
saat ini, sebagaimana hal ini banyak disalahpahami banyak orang. Inilah
keutamaan yang nampak bagi seorang yang menghafalkan Al Qur’an, namun dengan
syarat hal ini dilakukan untuk mengharap wajah Allah semata dan bukan untuk
mengharapkan dunia, dirham dan dinar. Ingatlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda,
أَكْثَرَ مُنَافِقِي أُمَّتِي
قُرَّاؤُهَا
“Kebanyakan orang munafik di
tengah-tengah umatku adalah qurro’uha (yang menghafalkan Al Qur’an dengan niat
yang jelek).” (HR. Ahmad, sanadnya hasan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh
Syu’aib Al Arnauth).” [Makna qurro’uha di sini adalah salah satu makna yang
disebutkan oleh Al Manawi dalam Faidhul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 2/102
(Asy Syamilah)]
[4] Keutamaan Mengulangi Hafalan Al Qur’an
Dari Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا مَثَلُ صَاحِبِ الْقُرْآنِ
كَمَثَلِ الإِبِلِ الْمُعَقَّلَةِ إِنْ عَاهَدَ عَلَيْهَا أَمْسَكَهَا وَإِنْ
أَطْلَقَهَا ذَهَبَتْ
“Sesungguhnya orang yang
menghafalkan Al Qur’an adalah bagaikan unta yang diikat. Jika diikat, unta itu
tidak akan lari. Dan apabila dibiarkan tanpa diikat, maka dia akan pergi.”
(HR. Bukhari no. 5031 dan Muslim no. 789).
Dalam riwayat Muslim yang lain
terdapat tambahan,
وَإِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ
فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِذَا لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ
”Apabila orang yang menghafal Al
Qur’an membacanya di waktu malam dan siang hari, dia akan mengingatnya. Namun
jika dia tidak melakukan demikian, maka dia akan lupa.” (HR. Muslim no.
789)
Al Faqih Syaikh Muhammad bin Sholih
Al Utsaimin memiliki kebiasaan menghafal Al Qur’an di pagi hari sehingga bisa
menguatkan hafalannya. Beliau rahimahullah mengatakan, “Cara yang paling bagus
untuk menghafalkan Al Qur’an -menurutku- adalah jika seseorang pada suatu hari
menghafalkan beberapa ayat maka hendaklah dia mengulanginya pada keesokan
paginya. Ini lebih akan banyak menolongnya untuk menguasai apa yang telah dia
hafalkan di hari sebelumnya. Ini juga adalah kebiasaan yang biasa saya lakukan
dan menghasilkan hafalan yang bagus.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 105, Darul Itqon Al
Iskandariyah)
silahkan download pdf disini
Komentar
Posting Komentar