Toleransi dalam Islam
Toleransi
dalam Islam
Prinsip
toleransi yang ditawarkan Islam dan ditawarkan sebagian kaum muslimin sungguh
sangat jauh berbeda. Sebagian orang yang disebut ulama mengajak umat untuk
turut serta dan berucap selamat pada perayaan non muslim. Namun Islam tidaklah
mengajarkan demikian. Prinsip toleransi yang diajarkan Islam adalah membiarkan
umat lain untuk beribadah dan berhari raya tanpa mengusik mereka. Senyatanya,
prinsip toleransi yang diyakini sebagian orang berasal dari kafir Quraisy di mana
mereka pernah berkata pada Nabi kita Muhammad,
“Wahai
Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim)
juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan
agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut
kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila
ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus
mengamalkannya.” (Tafsir Al Qurthubi, 14: 425).
Prinsipnya
sama dengan kaum muslimin saat ini di saat non muslim mengucapkan selamat Idul
Fitri, mereka pun balik membalas mengucapkan selamat natal. Itulah tanda akidah
yang rapuh.
1
Toleransi dalam Islam vs JIL
Siapa bilang
Islam tidak mengajarkan toleransi? Justru Islam menjunjung tinggi toleransi.
Namun toleransi apa dulu yang dimaksud. Toleransi yang dimaksud adalah bila
kita memiliki tetangga atau teman Nashrani, maka biarkan ia merayakan hari
besar mereka tanpa perlu kita mengusiknya. Namun tinggalkan segala kegiatan agamanya,
karena menurut syariat islam, segala praktek ibadah mereka adalah menyimpang
dari ajaran Islam alias bentuk kekufuran.
Satu
kesalahan besar bila kita turut serta merayakan atau meramaikan perayaan
mereka, termasuk juga mengucapkan selamat. Sebagaimana salah besar bila teman
kita masuk toilet lantas kita turut serta masuk ke toilet bersamanya. Kalau ia
masuk toilet, maka biarkan ia tunaikan hajatnya tersebut. Apa ada yang mau
temani temannya juga untuk lepaskan kotorannya? Itulah ibarat mudah mengapa
seorang muslim tidak perlu mengucapkan selamat natal. Yang kita lakukan adalah
dengan toleransi yaitu kita biarkan saja non muslim merayakannnya tanpa
mengusik mereka. Jadi jangan tertipu dengan ajaran toleransi ala orang-orang
JIL (Jaringan Islam Liberal) yang “sok intelek” yang tak tahu arti
toleransi dalam Islam yang sebenarnya.
2
Toleransi dalam Islam
Allah Ta’ala
berfirman,
لَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ
اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ
قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى
إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
(9)
“Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)
Ayat ini
mengajarkan prinsip toleransi, yaitu hendaklah setiap muslim berbuat baik pada
lainnya selama tidak ada sangkut pautnya dengan hal agama.
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang
tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah
di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang
yang berbuat adil.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 247). Ibnu Jarir Ath
Thobari rahimahullah mengatakan bahwa bentuk berbuat baik dan adil di
sini berlaku kepada setiap agama. Lihat Tafsir Ath Thobari, 14: 81.
Sedangkan
ayat selanjutnya yaitu ayat kesembilan adalah berisi larangan untuk loyal pada
non muslim yang jelas adalah musuh Islam. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
7: 248.
3
Bentuk Toleransi atau Berbuat Baik dalam Islam
Bagaimana
toleransi atau bentuk berbuat baik yang diajarkan oleh Islam?
3.1
1- Islam mengajarkan menolong siapa pun, baik orang miskin
maupun orang yang sakit.
Dari Abu
Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فِى كُلِّ
كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
“Menolong
orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.” (HR.
Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244). Lihatlah Islam masih mengajarkan peduli
sesama.
3.2
2- Tetap menjalin hubungan kerabat
pada orang tua atau saudara non muslim.
Allah Ta’ala
berfirman,
وَإِنْ
جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا
وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15). Dipaksa
syirik, namun tetap kita disuruh berbuat baik pada orang tua.
Lihat
contohnya pada Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ibuku
pernah mendatangiku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan membenci Islam. Aku pun bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam untuk tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau menjawab, “Iya,
boleh.” Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu turunlah ayat,
لاَ
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِى الدِّينِ
“Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu ….” (QS. Al Mumtahanah: 8) (HR. Bukhari no. 5978).
3.3
3- Boleh memberi hadiah pada non muslim.
Lebih-lebih
lagi untuk membuat mereka tertarik pada Islam, atau ingin mendakwahi mereka,
atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin.
Dari Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
رَأَى عُمَرُ
حُلَّةً عَلَى رَجُلٍ تُبَاعُ فَقَالَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ابْتَعْ
هَذِهِ الْحُلَّةَ تَلْبَسْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَإِذَا جَاءَكَ الْوَفْدُ .
فَقَالَ « إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذَا مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ فِى الآخِرَةِ » .
فَأُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مِنْهَا بِحُلَلٍ فَأَرْسَلَ
إِلَى عُمَرَ مِنْهَا بِحُلَّةٍ . فَقَالَ عُمَرُ كَيْفَ أَلْبَسُهَا وَقَدْ
قُلْتَ فِيهَا مَا قُلْتَ قَالَ « إِنِّى لَمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا ،
تَبِيعُهَا أَوْ تَكْسُوهَا » . فَأَرْسَلَ بِهَا عُمَرُ إِلَى أَخٍ لَهُ مِنْ
أَهْلِ مَكَّةَ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ
“’Umar
pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari
Jum’at dan ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini
tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan
sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan
memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti
ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa
mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap
mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada
saudaranya di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam. (HR.
Bukhari no. 2619). Lihatlah sahabat mulia ‘Umar bin Khottob masih berbuat baik
dengan memberi pakaian pada saudaranya yang non muslim.
4
Prinsip Lakum Diinukum Wa Liya Diin
Islam
mengajarkan kita toleransi dengan membiarkan ibadah dan perayaan non muslim,
bukan turut memeriahkan atau mengucapkan selamat. Karena Islam mengajarkan
prinsip,
لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al Kafirun: 6).
Prinsip
di atas disebutkan pula dalam ayat lain,
قُلْ كُلٌّ
يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ
“Katakanlah:
“Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (QS. Al Isra’:
84)
أَنْتُمْ
بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ
“Kamu
berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap
apa yang kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 41)
لَنَا
أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ
“Bagi
kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu.” (QS. Al Qashshash: 55)
Ibnu Jarir
Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagi
kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir
hidup yang kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan
mati dalam di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak
meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku
tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath Thobari, 14:
425).
5
Toleransi yang Ditawarkan oleh Non Muslim
Bertoleransi
yang ada saat ini sebenarnya ditawarkan dari non muslim. Mereka sengaja memberi
selamat kepada kita saat lebaran atau Idul Fitri, biar kita nantinya juga
mengucapkan selamat kepada mereka. Prinsip seperti ini ditawarkan oleh kafir
Quraisy pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa silam. Ketika Al
Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin
Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan
pada beliau,
يا محمد ،
هلم فلنعبد ما تعبد ، وتعبد ما نعبد ، ونشترك نحن وأنت في أمرنا كله ، فإن كان
الذي جئت به خيرا مما بأيدينا ، كنا قد شاركناك فيه ، وأخذنا بحظنا منه . وإن كان
الذي بأيدينا خيرا مما بيدك ، كنت قد شركتنا في أمرنا ، وأخذت بحظك منه
“Wahai
Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim)
juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan
agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut
kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila
ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus
mengamalkannya.” (Tafsir Al Qurthubi, 14: 425)
Itulah
prinsip toleransi yang digelontorkan oleh kafir Quraisy di masa silam, hingga
Allah pun menurunkan ayat,
قُلْ يَا
أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ
مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا
أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah
(wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan
kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah
agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6)
Jangan
heran, jika non muslim sengaja beri ucapan selamat pada perayaan Idul Fitri
yang kita rayakan. Itu semua bertujuan supaya kita bisa membalas ucapan selamat
di perayaan Natal mereka. Inilah prinsip yang ditawarkan oleh kafir Quraisy di
masa silam pada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Namun bagaimanakah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi toleransi seperti itu?
Tentu seperti prinsip yang diajarkan dalam ayat, lakum diinukum wa liya diin,
bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Sudahlah biarkan mereka
beribadah dan berhari raya, tanpa kita turut serta dalam perayaan mereka. Tanpa
ada kata ucap selamat, hadiri undangan atau melakukan bentuk tolong menolong
lainnya.
6
Jangan Turut Campur dalam Perayaan Non Muslim
Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non
muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha
dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih
dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
لا تدخلوا
على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم
“Janganlah
kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka.
Karena saat itu sedang turun murka Allah.”
Umar
berkata,
اجتنبوا
أعداء الله في أعيادهم
“Jauhilah
musuh-musuh Allah di perayaan mereka.” Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul
Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.
Juga sifat
‘ibadurrahman, yaitu hamba Allah yang beriman juga tidak menghadiri acara yang
di dalamnya mengandung maksiat. Perayaan natal bukanlah maksiat biasa, karena perayaan
tersebut berarti merayakan kelahiran Isa yang dianggap sebagai anak Tuhan.
Sedangkan kita diperintahkan Allah Ta’ala berfirman menjauhi acara
maksiat lebih-lebih acara kekufuran,
وَالَّذِينَ
لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan
orang-orang yang tidak memberikan menghadiri az zuur, dan apabila mereka
bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al
Furqon: 72). Yang dimaksud menghadiri acara az zuur adalah acara yang
mengandung maksiat. Jadi, jika sampai ada kyai atau keturunan kyai yang
menghadiri misa natal, itu suatu musibah dan bencana.
Wallahu
waliyyut taufiq.
7
Apakah Islam Mengenal
Toleransi Antarumat Beragama?
Toleransi berasal dari kata toleran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Edisi Keempat), toleran berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai,
membiarkan, dan membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan
pendirian sendiri. Toleransi berarti sifat atau sikap toleran. Menoleransi
berarti mendiamkan, membiarkan. (Lihat KBBI, edisi keempat, hlm. 1477-1478).
7.1
Islam mengajarkan
toleransi ataukah tidak?
Ada dua rincian dalam hal ini:
Pertama: Jika toleransi yang dimaksud adalah
membiarkan dengan membolehkan kepercayaan yang berbeda dengan Islam, sehingga
menganggap semua agama berarti sama, sikap seperti ini tidak dibenarkan oleh
Islam. Karena Islam menganggap hanyalah Islam yang diterima di sisi Allah.
Kedua: Jika toleransi yang dimaksud adalah
membiarkan dengan tidak mendukung kepercayaan, ibadah, atau perayaan
non-muslim, sikap seperti ini termasuk pengamalan yang benar dalam Islam.
7.2
Semua agama
tidaklah sama, Islam itu yang paling benar
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam.”
(QS. Ali Imran: 19).
Dalam ayat lainnya disebutkan,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا
فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85).
7.3
Kenapa hanya Islam
yang diterima?
Karena Islamlah yang paling sempurna dan telah diridai oleh Allah. Allah Ta’ala
berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”
(QS. Al-Maidah: 3).
Ada riwayat yang sahih yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah marah ketika Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu
‘anhu melihat-lihat lembaran Taurat. Lantas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا بْنَ الخَطَّابِ؟
أَلَمْ آتِ بِهَا بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ؟! لَوْ كَانَ أَخِيْ مُوْسَى حَيًّا مَا
وَسَعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِي
“Apakah dalam hatimu ada keraguan, wahai Ibnul Khatthab? Apakah
dalam taurat (kitab Nabi Musa) terdapat ajaran yang masih putih bersih?!
(Ketahuilah), seandainya saudaraku Musa hidup, beliau tetap harus mengikuti
(ajaran)ku.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, dan selainnya).
7.4
Kita mengenal prinsip “lakum diinukum wa liya
diin”
Prinsip ini maksudnya adalah kita membiarkan dan tidak mendukung sama sekali
ibadah dan perayaan non-muslim. Coba perhatikan surah Al-Kafirun.
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾ لَا
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَا
أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
“Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, (1) Aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah. (2) Dan kamu bukan penyembah Rabb yang aku sembah. (3)
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (4) dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah. (5) Untukmu agamamu, dan
untukkulah, agamaku”. (6)” (QS. Al-Kafirun: 1-6).
Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, Ibnu Hayyan menafsirkan,
“Bagi kalian kesyirikan yang kalian anut, bagiku berpegang dengan ketauhidanku.
Inilah yang dinamakan tidak loyal (berlepas diri dari orang kafir).”
7.4.1
Tiga
Prinsip “lakum diinukum wa liya diin” diterapkan
dalam beberapa bentuk sebagai berikut.
7.4.1.1
Pertama: Tidak tasyabbuh dengan orang kafir
Mengenai larangan tasyabbuh disebutkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk
bagian dari mereka.” (HR. Ahmad, 2:50 dan Abu Daud, no. 4031.
Syaikhul Islam dalam Iqtidha’, 1:269 mengatakan
bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Al-Hafizh Abu
Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain
kami.” (HR. Tirmidzi, no. 2695. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
berkata, “Patokan disebut tasyabbuh adalah jika melakukan sesuatu yang menjadi
kekhususan orang yang ditiru. Misalnya yang disebut tasyabbuh pada kafir adalah
seorang muslim melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang kafir. Adapun
jika sesuatu sudah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin dan tidak jadi
kekhasan atau pembeda dengan orang kafir, maka tidak lagi disebut tasyabbuh.
Seperti itu tidaklah dihukumi tasyabbuh, tetapi bisa jadi dinilai haram dari
sisi lain.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin,
3:30)
7.4.1.2
Kedua: Tidak turut
merayakan perayaan
non-muslim
Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak
menyaksikan perbuatan zur,
dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga
kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72).
Dalam penjelasan kitab tafsir, di antara pengertian “tidak
menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan
non-muslim.
7.4.1.3
Ketiga: Tidak
mengucapkan selamat pada perayaan non-muslim
Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu berkata,
اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم
“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”
Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam
Ahli Dzimmah, 1:723-724.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام
بالاتفاق
“Adapun memberi ucapan selamat pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi
orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal) adalah sesuatu yang
diharamkan berdasarkan ijmak (kesepakatan) para ulama.” Inilah yang beliau
sebutkan dalam Ahkam Ahli Dzimmah.
7.5
Tetap berbuat baik
pada umat beragama itu
ada
Walau tidak mengucapkan selamat, kita tetap masih disuruh berbuat baik pada
mereka di selain prinsip beragama.
7.5.1
Pertama: Islam mengajarkan menolong
siapa pun, baik orang miskin maupun orang yang sakit.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
فِى كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ
“Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran
pahala.” (HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244). Lihatlah Islam
masih mengajarkan peduli sesama.
7.5.2
Kedua: Tetap menjalin hubungan
kerabat dengan orang tua atau saudara non-muslim.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي
مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا
مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS.
Luqman: 15). Walau dipaksa berbuat syirik, kita tidak taat, tetapi tetap
berbuat baik kepada orang tua yang berbeda keyakinan.
Lihat contohnya pada Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma,
ia berkata, “Ibuku pernah mendatangiku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam keadaan membenci Islam. Aku pun bertanya pada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallamuntuk tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau
menjawab, “Iya, boleh.” Ibnu ‘Uyainah
mengatakan bahwa tatkala itu turunlah ayat,
لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِى الدِّينِ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu ….” (QS. Al-Mumtahanah:
8). (HR. Bukhari, no. 5978).
Kesimpulannya, toleransi yang benar bukan
berarti mendukung ajaran non-muslim, tetapi membiarkan dan tidak ikut campur
pada ritual keagamaan mereka. Seorang muslim tetap harus meyakini Islam itulah
yang paling benar dan punya prinsip bara’ (berlepas diri dari ritual keagamaan
non-muslim). Namun, berbuat baik dengan non-muslim seperti kepada orang tua dan
kerabat tetap ada selama tidak ada kaitan dengan ritual keagamaan.
8
Bukti Toleransi Islam Terhadap Agama Lainnya
Agama Islam adalah agama yang
sangat menjunjung tinggi keadilan. Kedalian bagi siapa saja, yaitu menempatkan
sesuatu sesuai tempatnya dan memberikan hak sesuai dengan haknya. Begitu juga
dengan toleransi dalam beragama. Agama Islam melarang keras berbuat zalim
dengan agama selain Islam dengan merampas hak-hak mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ
عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن
دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil” (QS.
Al-Mumtahah: 8)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan, “Allah tidak melarang kalian
untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan , berbuat adil
kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama
mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir
kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan
mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak
ada larangan dan tidak ada kerusakan.” [1]
Akan tetapi toleransi ada
batasnya dan tidak boleh kebablasan. Semisal mengucapkan “selamat natal” dan
menghadiri acara ibadah atau ritual kesyirikan agama lainnya. Karena jika sudah
urusan agama, tidak ada toleransi dan saling mendukung.
Berikut beberapa bukti bahwa
Islam adalah agama yang menjunjung toleransi terhadap agama lainnya dan
tentunya bukan toleransi yang kebablasan, diantaranya:
8.1
1. Ajaran berbuat baik terhadap tetangga meskipun
non-muslim
Berikut ini teladan dari salafus
shalih dalam berbuat baik terhadap tetangganya yang Yahudi. Seorang tabi’in dan
beliau adalah ahli tafsir, imam Mujahid, ia berkata, “Saya pernah berada di
sisi Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu
berkata,
ياَ غُلاَمُ! إِذَا
فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي
”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya),
maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu”.
Lalu ada salah seorang yang
berkata,
آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ
اللهُ؟!
“(kenapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah
memperbaiki kondisimu”.
‘Abdullah bin ’Amru lalu berkata,
إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا
أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ
‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami
khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” [2]
8.2
2. Bermuamalah yang baik dan tidak boleh dzalim
terhadap keluarga dan kerabat meskipun non-muslim
Misalnya pada ayat yang
menjelaskan ketika orang tua kita bukan Islam, maka tetap harus berbuat baik
dan berbakit kepada mereka dalam hal muamalah. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى
أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا
فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
8.3
3. Islam melarang keras membunuh non-muslim
kecuali jika mereka memerangi kaum muslimin.
Dalam agama Islam orang kafir
yang boleh dibunuh adalah orang kafir harbi yaitu kafir yang memerangi kaum muslimin. Selain itu semisal orang kafir
yang mendapat suaka atau ada perjanjian dengan kaum muslimin semisal kafir
dzimmi, kafir musta’man dan kafir mu’ahad, maka dilarang keras untuk dibunuh.
Jika melanggar maka ancamannya sangat keras.
مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ
أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ
مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak
akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari
perjalanan empat puluh tahun. ”[3]
8.4
4. Adil dalam hukum dan peradilan terhadap
non-muslim
Contohnya ketika Umar bin Khattab
radhiallahu’anhu membebaskan dan menaklukkan Yerussalem
Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama dan membawa
salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memluk Islam dan menghalangi mereka
untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim.
Berbeda ketika bangsa dan agama lain mengusai, maka mereka melakukan
pembantaian.
Umar bin Khattab juga memberikan
kebebasan dan memberikan hak-hak hukum dan perlindungan kepada penduduk
Yerussalem walaupun mereka non-muslim.
9
Ajakan toleransi agama yang “kebablasan”
Toleransi berlebihan ini,
ternyata sudah ada ajakannya sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperjuangkan agama Islam.
Suatu ketika, beberapa orang
kafir Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul
Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan toleransi kebablasan kepada beliau, mereka berkata:
يا محمد ، هلم فلنعبد ما
تعبد ، وتعبد ما نعبد ، ونشترك نحن وأنت في أمرنا كله ، فإن كان الذي جئت به خيرا
مما بأيدينا ، كنا قد شاركناك فيه ، وأخذنا بحظنا منه . وإن كان الذي بأيدينا
خيرا مما بيدك ، كنت قد شركتنا في أمرنا ، وأخذت بحظك منه
“Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada
Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi
dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu
yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan
hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan
agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”[4]
Kemudian turunlah ayat berikut
yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini,
قُلْ يَا أَيُّهَا
الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا
أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir),
“Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan
kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah
Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6).
[1] Taisir Karimir Rahman hal. 819, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. Ke-1, 1424
H
[2] Al Irwa’ Al-ghalil no. 891
[3] HR. An Nasa’i. dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
[4] Tafsir Al Qurthubi 20: 225, Darul Kutub Al-Mishriyyah, cet.
Ke-II, 1386 H
—
10 SAMPAI MANAKAH BATAS
TOLERANSI?
Sesungguhnya agama kita terbangun di atas rasa toleransi dan menghilangkan
kesusahan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بُعِثْتُ
بِالْحَنِيْفِيَةَ السَّمْحَةِ
Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran[1]
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا جَعَلَ
عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan suatu kesempitan untuk kamu
dalam agama. [al-Hajj/22:78].
Sikap toleran dan menghilangkan kesempitan (kesusahan) merupakan ciri agama
yang agung ini, berbeda dengan syariat agama-agama terdahulu yang banyak
terdapat kekangan, dan belenggu yang menyusahkan, akibat dari penentangan dan
penyelisihan mereka terhadap perintah-perintah Allah, serta sikap perlawanan
mereka terhadap nabi-nabi yang diutus kepada mereka.
Sikap toleransi dan mempermudah dalam syariat Islam terdapat pada perintah,
larangan dan pensyariatan Islam. Toleransi tidak bisa dimaknai dengan
melepaskan atau meninggalkan hukum-hukum yang terkandung dalam syari’at, karena
–jika demikian-, maka itu merupakan sikap lembek
dalam urusan agama, bukan sikap toleransi yang diinginkan Islam.
Allah Ta’ala berfirman:
أَفَبِهَٰذَا
الْحَدِيثِ أَنْتُمْ مُدْهِنُونَ
Maka apakah kamu menganggap remeh dengan al-Qur’an ini? [al-Waqi’ah/56:81]
Dan firman-Nya:
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ
فَيُدْهِنُونَ
Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka
bersikap lunak (pula kepadamu). [al-Qalam/68:9].
Dan musuh-musuh Islam tidak akan pernah ridha (suka)
terhadap kita, sampai kita melepaskan agama secara menyeluruh serta mengikuti
mereka.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ
الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu
hingga kamu mengikuti agama mereka. [al-Baqarah/2:120].
Dan firman-Nya:
وَدُّوا لَوْ
تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah
menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). [an-Nisa’/4:89].
Berdebat dengan mereka secara baik merupakan suatu keharusan syar’i untuk
memuaskan mereka dengan kebenaran. Apabila perdebatan tidak mendatangkan hasil,
atau melalui perdebatan itu mereka ingin kita melepas atau meninggalkan
sebagian ajaran agama, maka pada saat itu kita tidak boleh bersikap lemah
lembut dengan mereka sehingga membuat mereka berharap terhadap keinginannya
akan tetapi kita harus bersikap keras dan tegas terhadap mereka agar pupus
semua harapan mereka.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ
جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ
وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik
dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Jahanam, dan itu
adalah seburuk-buruknya tempat kembali. [at-Tahrim/66:9].
Dan firman-Nya:
وَلَا تُجَادِلُوا
أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا
مِنْهُمْ
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan
cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka. [al-Ankabut/29:46].
Sikap lemah lembut bersama mereka dalam kondisi di atas termasuk dalam
kategori meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.
Kita sering melihat, membaca, dan mendengar dari para Khatib atau juru
dakwah anjuran untuk bersikap toleran dengan para musuh Islam, karena agama
kita adalah agama toleran dan penuh dengan rasa cinta. Perkataan seperti ini
tidak sepenuhnya benar, sehingga perlu perincian, karena kalau tidak maka bias
mendatangkan keburukan dan salah tafsir dari orang yang mendengarkan dan
membacanya. Kewajiban kita adalah untuk berhati-hati dalam perkara ini serta
meletakkan hal seperti ini pada tempatnya. Alangkah sering kita mengulangi dan
mendengungkan perkataan-perkataan seperti ini, akan tetapi itu semua tidak
cukup untuk merubah musuh-musuh Islam dari tabiat dan sikap mereka terhadap
kita dan agama Islam. Ingatlah kejadian yang belum lama terjadi yaitu peristiwa
perobekan mushaf (al-Qur’an) kemudian dilemparkan ke dalam WC, dan tindakan
mencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا تُخْفِي
صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ
Dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar
lagi. [Ali Imran/3:118].
Sungguh, perbuatan-perbuatan mereka terhadap kaum Muslimin lebih parah
daripada perkataan mereka, sebagaimana yang terjadi di Afghanistan, Irak,
Bosnia dan Herzegovina. Sungguh benar firman Allah Azza wa Jalla:
وَلَا يَزَالُونَ
يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا
Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. [al-Baqarah/2:217].
Dan firman-Nya:
إِنْ يَثْقَفُوكُمْ
يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ
بِالسُّوءِ وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ
Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai
musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan
menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. [al-Mumtahanah/60:2]
(Diangkat dari kitab al-Bayân
li Akhthâ’i Ba’dil Kuttâb, 3/325-326)
_______
Footnote
[1] HR Imam Ahmad
(5/266) dari hadits Abu Umamah. Hadits ini dibawakan oleh Imam al-Bukhari
secara mu’allaq dalam Kitabul Iman, Bab ad-Diinu Yusrun dengan
lafazh
أَحَبُّ الدِّيْنِ
إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَةُ السَّمْحَةُ
Dan dibawakan dengan sanan yang bersambung dalam kitab Adabul
Mufrad,no. 287 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu.
Komentar
Posting Komentar