Toleransi dalam Islam

Toleransi dalam Islam



Prinsip toleransi yang ditawarkan Islam dan ditawarkan sebagian kaum muslimin sungguh sangat jauh berbeda. Sebagian orang yang disebut ulama mengajak umat untuk turut serta dan berucap selamat pada perayaan non muslim. Namun Islam tidaklah mengajarkan demikian. Prinsip toleransi yang diajarkan Islam adalah membiarkan umat lain untuk beribadah dan berhari raya tanpa mengusik mereka. Senyatanya, prinsip toleransi yang diyakini sebagian orang berasal dari kafir Quraisy di mana mereka pernah berkata pada Nabi kita Muhammad,

“Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al Qurthubi, 14: 425).

Prinsipnya sama dengan kaum muslimin saat ini di saat non muslim mengucapkan selamat Idul Fitri, mereka pun balik membalas mengucapkan selamat natal. Itulah tanda akidah yang rapuh.

1      Toleransi dalam Islam vs JIL

Siapa bilang Islam tidak mengajarkan toleransi? Justru Islam menjunjung tinggi toleransi. Namun toleransi apa dulu yang dimaksud. Toleransi yang dimaksud adalah bila kita memiliki tetangga atau teman Nashrani, maka biarkan ia merayakan hari besar mereka tanpa perlu kita mengusiknya. Namun tinggalkan segala kegiatan agamanya, karena menurut syariat islam, segala praktek ibadah mereka adalah menyimpang dari ajaran Islam alias bentuk kekufuran.

Satu kesalahan besar bila kita turut serta merayakan atau meramaikan perayaan mereka, termasuk juga mengucapkan selamat. Sebagaimana salah besar bila teman kita masuk toilet lantas kita turut serta masuk ke toilet bersamanya. Kalau ia masuk toilet, maka biarkan ia tunaikan hajatnya tersebut. Apa ada yang mau temani temannya juga untuk lepaskan kotorannya? Itulah ibarat mudah mengapa seorang muslim tidak perlu mengucapkan selamat natal. Yang kita lakukan adalah dengan toleransi yaitu kita biarkan saja non muslim merayakannnya tanpa mengusik mereka. Jadi jangan tertipu dengan ajaran toleransi ala orang-orang JIL (Jaringan Islam Liberal) yang “sok intelek” yang tak tahu arti toleransi dalam Islam yang sebenarnya.

2      Toleransi dalam Islam

Allah Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ (8) إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (9)

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Mumtahanah: 8-9)

Ayat ini mengajarkan prinsip toleransi, yaitu hendaklah setiap muslim berbuat baik pada lainnya selama tidak ada sangkut pautnya dengan hal agama.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 247). Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahullah mengatakan bahwa bentuk berbuat baik dan adil di sini berlaku kepada setiap agama. Lihat Tafsir Ath Thobari, 14: 81.

Sedangkan ayat selanjutnya yaitu ayat kesembilan adalah berisi larangan untuk loyal pada non muslim yang jelas adalah musuh Islam. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7: 248.

3      Bentuk Toleransi atau Berbuat Baik dalam Islam

Bagaimana toleransi atau bentuk berbuat baik yang diajarkan oleh Islam?

3.1     1- Islam mengajarkan menolong siapa pun, baik orang miskin maupun orang yang sakit.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فِى كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.” (HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244). Lihatlah Islam masih mengajarkan peduli sesama.

3.2     2- Tetap menjalin hubungan kerabat  pada orang tua atau saudara non muslim.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15). Dipaksa syirik, namun tetap kita disuruh berbuat baik pada orang tua.

Lihat contohnya pada Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ibuku pernah mendatangiku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan membenci Islam. Aku pun bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau menjawab, “Iya, boleh.” Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu turunlah ayat,

لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِى الدِّينِ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu ….” (QS. Al Mumtahanah: 8) (HR. Bukhari no. 5978).

3.3     3- Boleh memberi hadiah pada non muslim.

Lebih-lebih lagi untuk membuat mereka tertarik pada Islam, atau ingin mendakwahi mereka, atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum muslimin.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,

رَأَى عُمَرُ حُلَّةً عَلَى رَجُلٍ تُبَاعُ فَقَالَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ابْتَعْ هَذِهِ الْحُلَّةَ تَلْبَسْهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَإِذَا جَاءَكَ الْوَفْدُ . فَقَالَ « إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذَا مَنْ لاَ خَلاَقَ لَهُ فِى الآخِرَةِ » . فَأُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مِنْهَا بِحُلَلٍ فَأَرْسَلَ إِلَى عُمَرَ مِنْهَا بِحُلَّةٍ . فَقَالَ عُمَرُ كَيْفَ أَلْبَسُهَا وَقَدْ قُلْتَ فِيهَا مَا قُلْتَ قَالَ « إِنِّى لَمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا ، تَبِيعُهَا أَوْ تَكْسُوهَا » . فَأَرْسَلَ بِهَا عُمَرُ إِلَى أَخٍ لَهُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ

“’Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia pada hari Jum’at dan ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di akhirat?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka engkau jual saja atau tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya  di Makkah sebelum saudaranya tersebut masuk Islam. (HR. Bukhari no. 2619). Lihatlah sahabat mulia ‘Umar bin Khottob masih berbuat baik dengan memberi pakaian pada saudaranya yang non muslim.

4      Prinsip Lakum Diinukum Wa Liya Diin

Islam mengajarkan kita toleransi dengan membiarkan ibadah dan perayaan non muslim, bukan turut memeriahkan atau mengucapkan selamat. Karena Islam mengajarkan prinsip,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (QS. Al Kafirun: 6).

Prinsip  di atas disebutkan pula dalam ayat lain,

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ

Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” (QS. Al Isra’: 84)

أَنْتُمْ بَرِيئُونَ مِمَّا أَعْمَلُ وَأَنَا بَرِيءٌ مِمَّا تَعْمَلُونَ

Kamu berlepas diri terhadap apa yang aku kerjakan dan akupun berlepas diri terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Yunus: 41)

لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ

Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu.” (QS. Al Qashshash: 55)

Ibnu Jarir Ath Thobari menjelaskan mengenai ‘lakum diinukum wa liya diin’, “Bagi kalian agama kalian, jangan kalian tinggalkan selamanya karena itulah akhir hidup yang kalian pilih dan kalian sulit melepaskannya, begitu pula kalian akan mati dalam di atas agama tersebut. Sedangkan untukku yang kuanut. Aku pun tidak meninggalkan agamaku selamanya. Karena sejak dahulu sudah diketahui bahwa aku tidak akan berpindah ke agama selain itu.” (Tafsir Ath Thobari, 14: 425).

5      Toleransi yang Ditawarkan oleh Non Muslim

Bertoleransi yang ada saat ini sebenarnya ditawarkan dari non muslim. Mereka sengaja memberi selamat kepada kita saat lebaran atau Idul Fitri, biar kita nantinya juga mengucapkan selamat kepada mereka. Prinsip seperti ini ditawarkan oleh kafir Quraisy pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masa silam. Ketika Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan pada beliau,

يا محمد ، هلم فلنعبد ما تعبد ، وتعبد ما نعبد ، ونشترك نحن وأنت في أمرنا كله ، فإن كان الذي جئت به خيرا مما بأيدينا ، كنا قد شاركناك فيه ، وأخذنا بحظنا منه . وإن كان الذي بأيدينا خيرا مما بيدك ، كنت قد شركتنا في أمرنا ، وأخذت بحظك منه

“Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al Qurthubi, 14: 425)

Itulah prinsip toleransi yang digelontorkan oleh kafir Quraisy di masa silam, hingga Allah pun menurunkan ayat,

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6)

Jangan heran, jika non muslim sengaja beri ucapan selamat pada perayaan Idul Fitri yang kita rayakan. Itu semua bertujuan supaya kita bisa membalas ucapan selamat di perayaan Natal mereka. Inilah prinsip yang ditawarkan oleh kafir Quraisy di masa silam pada nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Namun bagaimanakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyikapi toleransi seperti itu? Tentu seperti prinsip yang diajarkan dalam ayat, lakum diinukum wa liya diin, bagi kalian agama kalian, bagi kami agama kami. Sudahlah biarkan mereka beribadah dan berhari raya, tanpa kita turut serta dalam perayaan mereka. Tanpa ada kata ucap selamat, hadiri undangan atau melakukan bentuk tolong menolong lainnya.

6      Jangan Turut Campur dalam Perayaan Non Muslim

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

Umar berkata,

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم

“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.” Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.

Juga sifat ‘ibadurrahman, yaitu hamba Allah yang beriman juga tidak menghadiri acara yang di dalamnya mengandung maksiat. Perayaan natal bukanlah maksiat biasa, karena perayaan tersebut berarti merayakan kelahiran Isa yang dianggap sebagai anak Tuhan. Sedangkan kita diperintahkan Allah Ta’ala berfirman menjauhi acara maksiat lebih-lebih acara kekufuran,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Dan orang-orang yang tidak memberikan menghadiri az zuur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqon: 72). Yang dimaksud menghadiri acara az zuur adalah acara yang mengandung maksiat. Jadi, jika sampai ada kyai atau keturunan kyai yang menghadiri misa natal, itu suatu musibah dan bencana.

Wallahu waliyyut taufiq.

 


 

7      Apakah Islam Mengenal Toleransi Antarumat Beragama?

Toleransi berasal dari kata toleran. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat), toleran berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, dan membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Toleransi berarti sifat atau sikap toleran. Menoleransi berarti mendiamkan, membiarkan. (Lihat KBBI, edisi keempat, hlm. 1477-1478).

7.1     Islam mengajarkan toleransi ataukah tidak?

Ada dua rincian dalam hal ini:

Pertama: Jika toleransi yang dimaksud adalah membiarkan dengan membolehkan kepercayaan yang berbeda dengan Islam, sehingga menganggap semua agama berarti sama, sikap seperti ini tidak dibenarkan oleh Islam. Karena Islam menganggap hanyalah Islam yang diterima di sisi Allah.

Kedua: Jika toleransi yang dimaksud adalah membiarkan dengan tidak mendukung kepercayaan, ibadah, atau perayaan non-muslim, sikap seperti ini termasuk pengamalan yang benar dalam Islam.

7.2     Semua agama tidaklah sama, Islam itu yang paling benar

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

Agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam.” (QS. Ali Imran: 19).

Dalam ayat lainnya disebutkan,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali Imran: 85).

7.3     Kenapa hanya Islam yang diterima?

Karena Islamlah yang paling sempurna dan telah diridai oleh Allah. Allah Ta’ala berfirman,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah: 3).

Ada riwayat yang sahih yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah marah ketika Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu melihat-lihat lembaran Taurat. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا بْنَ الخَطَّابِ؟ أَلَمْ آتِ بِهَا بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ؟! لَوْ كَانَ أَخِيْ مُوْسَى حَيًّا مَا وَسَعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِي

Apakah dalam hatimu ada keraguan, wahai Ibnul Khatthab? Apakah dalam taurat (kitab Nabi Musa) terdapat ajaran yang masih putih bersih?! (Ketahuilah), seandainya saudaraku Musa hidup, beliau tetap harus mengikuti (ajaran)ku.” (HR. Ahmad, Ad-Darimi, dan selainnya).

7.4     Kita mengenal prinsiplakum diinukum wa liya diin

Prinsip ini maksudnya adalah kita membiarkan dan tidak mendukung sama sekali ibadah dan perayaan non-muslim. Coba perhatikan surah Al-Kafirun.

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُ‌ونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾

Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, (1) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. (2) Dan kamu bukan penyembah Rabb yang aku sembah. (3) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, (4) dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Rabb yang aku sembah. (5) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku”. (6)” (QS. Al-Kafirun: 1-6).

Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Muhith, Ibnu Hayyan menafsirkan, “Bagi kalian kesyirikan yang kalian anut, bagiku berpegang dengan ketauhidanku. Inilah yang dinamakan tidak loyal (berlepas diri dari orang kafir).”

7.4.1      Tiga Prinsip “lakum diinukum wa liya diin” diterapkan dalam beberapa bentuk sebagai berikut.

7.4.1.1      Pertama: Tidak tasyabbuh dengan orang kafir

Mengenai larangan tasyabbuh disebutkan dalam hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad, 2:50 dan Abu Daud, no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidha’, 1:269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami.” (HR. Tirmidzi, no. 2695. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Patokan disebut tasyabbuh adalah jika melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang yang ditiru. Misalnya yang disebut tasyabbuh pada kafir adalah seorang muslim melakukan sesuatu yang menjadi kekhususan orang kafir. Adapun jika sesuatu sudah tersebar di tengah-tengah kaum muslimin dan tidak jadi kekhasan atau pembeda dengan orang kafir, maka tidak lagi disebut tasyabbuh. Seperti itu tidaklah dihukumi tasyabbuh, tetapi bisa jadi dinilai haram dari sisi lain.” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 3:30)

7.4.1.2      Kedua: Tidak turut merayakan perayaan non-muslim

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا

Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72).

Dalam penjelasan kitab tafsir, di antara pengertian “tidak menyaksikan perbuatan zur” adalah tidak menghadiri perayaan non-muslim.

7.4.1.3      Ketiga: Tidak mengucapkan selamat pada perayaan non-muslim

Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu ‘anhu berkata,

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم

Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.” Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1:723-724.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق

“Adapun memberi ucapan selamat pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijmak (kesepakatan) para ulama.” Inilah yang beliau sebutkan dalam Ahkam Ahli Dzimmah.

7.5     Tetap berbuat baik pada umat beragama itu ada

Walau tidak mengucapkan selamat, kita tetap masih disuruh berbuat baik pada mereka di selain prinsip beragama.

7.5.1      Pertama: Islam mengajarkan menolong siapa pun, baik orang miskin maupun orang yang sakit.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فِى كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ

Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.” (HR. Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244). Lihatlah Islam masih mengajarkan peduli sesama.

7.5.2      Kedua: Tetap menjalin hubungan kerabat dengan orang tua atau saudara non-muslim.

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15). Walau dipaksa berbuat syirik, kita tidak taat, tetapi tetap berbuat baik kepada orang tua yang berbeda keyakinan.

Lihat contohnya pada Asma’ binti Abi Bakr radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Ibuku pernah mendatangiku di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan membenci Islam. Aku pun bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamuntuk tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau menjawab, “Iya, boleh.” Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu turunlah ayat,

لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِى الدِّينِ

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu ….” (QS. Al-Mumtahanah: 8). (HR. Bukhari, no. 5978).

Kesimpulannya, toleransi yang benar bukan berarti mendukung ajaran non-muslim, tetapi membiarkan dan tidak ikut campur pada ritual keagamaan mereka. Seorang muslim tetap harus meyakini Islam itulah yang paling benar dan punya prinsip bara’ (berlepas diri dari ritual keagamaan non-muslim). Namun, berbuat baik dengan non-muslim seperti kepada orang tua dan kerabat tetap ada selama tidak ada kaitan dengan ritual keagamaan.

 


 

8      Bukti Toleransi Islam Terhadap Agama Lainnya

Agama Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan. Kedalian bagi siapa saja, yaitu menempatkan sesuatu sesuai tempatnya dan memberikan hak sesuai dengan haknya. Begitu juga dengan toleransi dalam beragama. Agama Islam melarang keras berbuat zalim dengan agama selain Islam dengan merampas hak-hak mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah: 8)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan , berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan.” [1]

Akan tetapi toleransi ada batasnya dan tidak boleh kebablasan. Semisal mengucapkan “selamat natal” dan menghadiri acara ibadah atau ritual kesyirikan agama lainnya. Karena jika sudah urusan agama, tidak ada toleransi dan saling mendukung.

Berikut beberapa bukti bahwa Islam adalah agama yang menjunjung toleransi terhadap agama lainnya dan tentunya bukan toleransi yang kebablasan, diantaranya:

8.1     1. Ajaran berbuat baik terhadap tetangga meskipun non-muslim

Berikut ini teladan dari salafus shalih dalam berbuat baik terhadap tetangganya yang Yahudi. Seorang tabi’in dan beliau adalah ahli tafsir, imam Mujahid, ia berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata,

ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي

Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu”.

Lalu ada salah seorang yang berkata,

آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!

(kenapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu”.

‘Abdullah bin ’Amru lalu berkata,

إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ

‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” [2]

8.2     2. Bermuamalah yang baik dan tidak boleh dzalim terhadap keluarga dan kerabat meskipun non-muslim

Misalnya pada ayat yang menjelaskan ketika orang tua kita bukan Islam, maka tetap harus berbuat baik dan berbakit kepada mereka dalam hal muamalah. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)

8.3     3. Islam melarang keras membunuh non-muslim kecuali jika mereka memerangi kaum muslimin.

Dalam agama Islam orang kafir yang boleh dibunuh adalah orang kafir harbi yaitu kafir yang memerangi kaum muslimin. Selain itu semisal orang kafir yang mendapat suaka atau ada perjanjian dengan kaum muslimin semisal kafir dzimmi, kafir musta’man dan kafir mu’ahad, maka dilarang keras untuk dibunuh. Jika melanggar maka ancamannya sangat keras.

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ”[3]

8.4     4. Adil dalam hukum dan peradilan terhadap non-muslim

Contohnya ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu membebaskan dan menaklukkan Yerussalem Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memluk Islam dan menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim. Berbeda ketika bangsa dan agama lain mengusai, maka mereka melakukan pembantaian.

Umar bin Khattab juga memberikan kebebasan dan memberikan hak-hak hukum dan perlindungan kepada penduduk Yerussalem walaupun mereka non-muslim.

9      Ajakan toleransi agama yang “kebablasan”

Toleransi berlebihan ini, ternyata sudah ada ajakannya sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperjuangkan agama Islam.

Suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan toleransi kebablasan kepada beliau, mereka berkata:

يا محمد ، هلم فلنعبد ما تعبد ، وتعبد ما نعبد ، ونشترك نحن وأنت في أمرنا كله ، فإن كان الذي جئت به خيرا مما بأيدينا ، كنا قد شاركناك فيه ، وأخذنا بحظنا منه . وإن كان الذي بأيدينا خيرا مما بيدك ، كنت قد شركتنا في أمرنا ، وأخذت بحظك منه

Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”[4]

Kemudian turunlah ayat berikut yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini,

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6).

[1] Taisir Karimir Rahman hal. 819, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. Ke-1, 1424 H
[2]
Al Irwa’ Al-ghalil no. 891
[3] HR. An Nasa’i. dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
[4]
Tafsir Al Qurthubi 20: 225, Darul Kutub Al-Mishriyyah, cet. Ke-II, 1386 H


 

10  SAMPAI MANAKAH BATAS TOLERANSI?

Sesungguhnya agama kita terbangun di atas rasa toleransi dan menghilangkan kesusahan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

بُعِثْتُ بِالْحَنِيْفِيَةَ السَّمْحَةِ

Aku diutus dengan membawa agama yang lurus dan toleran[1]

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan suatu kesempitan untuk kamu dalam agama. [al-Hajj/22:78].

Sikap toleran dan menghilangkan kesempitan (kesusahan) merupakan ciri agama yang agung ini, berbeda dengan syariat agama-agama terdahulu yang banyak terdapat kekangan, dan belenggu yang menyusahkan, akibat dari penentangan dan penyelisihan mereka terhadap perintah-perintah Allah, serta sikap perlawanan mereka terhadap nabi-nabi yang diutus kepada mereka.

Sikap toleransi dan mempermudah dalam syariat Islam terdapat pada perintah, larangan dan pensyariatan Islam. Toleransi tidak bisa dimaknai dengan melepaskan atau meninggalkan hukum-hukum yang terkandung dalam syari’at, karena –jika demikian-, maka itu merupakan sikap lembek dalam urusan agama, bukan sikap toleransi yang diinginkan Islam.

Allah Ta’ala berfirman:

أَفَبِهَٰذَا الْحَدِيثِ أَنْتُمْ مُدْهِنُونَ

Maka apakah kamu menganggap remeh dengan al-Qur’an ini? [al-Waqi’ah/56:81]

Dan firman-Nya:

وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ

Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). [al-Qalam/68:9].

Dan musuh-musuh Islam tidak akan pernah ridha (suka) terhadap kita, sampai kita melepaskan agama secara menyeluruh serta mengikuti mereka.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَنْ تَرْضَىٰ عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ 

Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. [al-Baqarah/2:120].

Dan firman-Nya:

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً

Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). [an-Nisa’/4:89].

Berdebat dengan mereka secara baik merupakan suatu keharusan syar’i untuk memuaskan mereka dengan kebenaran. Apabila perdebatan tidak mendatangkan hasil, atau melalui perdebatan itu mereka ingin kita melepas atau meninggalkan sebagian ajaran agama, maka pada saat itu kita tidak boleh bersikap lemah lembut dengan mereka sehingga membuat mereka berharap terhadap keinginannya akan tetapi kita harus bersikap keras dan tegas terhadap mereka agar pupus semua harapan mereka.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ ۚ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Jahanam, dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. [at-Tahrim/66:9].

Dan firman-Nya:

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ

Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka. [al-Ankabut/29:46].

Sikap lemah lembut bersama mereka dalam kondisi di atas termasuk dalam kategori meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Kita sering melihat, membaca, dan mendengar dari para Khatib atau juru dakwah anjuran untuk bersikap toleran dengan para musuh Islam, karena agama kita adalah agama toleran dan penuh dengan rasa cinta. Perkataan seperti ini tidak sepenuhnya benar, sehingga perlu perincian, karena kalau tidak maka bias mendatangkan keburukan dan salah tafsir dari orang yang mendengarkan dan membacanya. Kewajiban kita adalah untuk berhati-hati dalam perkara ini serta meletakkan hal seperti ini pada tempatnya. Alangkah sering kita mengulangi dan mendengungkan perkataan-perkataan seperti ini, akan tetapi itu semua tidak cukup untuk merubah musuh-musuh Islam dari tabiat dan sikap mereka terhadap kita dan agama Islam. Ingatlah kejadian yang belum lama terjadi yaitu peristiwa perobekan mushaf (al-Qur’an) kemudian dilemparkan ke dalam WC, dan tindakan mencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ 

Dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. [Ali Imran/3:118].

Sungguh, perbuatan-perbuatan mereka terhadap kaum Muslimin lebih parah daripada perkataan mereka, sebagaimana yang terjadi di Afghanistan, Irak, Bosnia dan Herzegovina. Sungguh benar firman Allah Azza wa Jalla:

وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا 

Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. [al-Baqarah/2:217].

Dan firman-Nya:

إِنْ يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ

Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti(mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir. [al-Mumtahanah/60:2]

 (Diangkat dari kitab al-Bayân li Akhthâ’i Ba’dil Kuttâb, 3/325-326)


_______
Footnote
[1] HR Imam Ahmad (5/266) dari hadits Abu Umamah. Hadits ini dibawakan oleh Imam al-Bukhari secara mu’allaq dalam Kitabul Iman, Bab ad-Diinu Yusrun dengan lafazh

أَحَبُّ الدِّيْنِ إِلَى اللهِ الْحَنِيْفِيَةُ السَّمْحَةُ

Dan dibawakan dengan sanan yang bersambung dalam kitab Adabul Mufrad,no. 287 dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SUKSES DENGAN SKILL YANG TEPAT

"Naha Leres Musik Teh Haram?" Oleh : Fajri Malik Ibrahim